Instagram itu kadang terasa misterius… tapi sebenernya ia sederhana—atau setidaknya sesederhana restoran Minang bernama Sederhana: kalau enak, orang bakal balik lagi; kalau porsinya pas, orang bakal rekomendasi ke teman; kalau bumbunya kuat, maka bisa viral.
Dan sama kayak rendang, konten kita juga butuh waktu, teknik, dan “lemak” supaya benar-benar nendang.
Kalau orang suka baca kontenmu, Instagram langsung anggap itu sinyal emas: “Wah, ini konten layak disebarin.”
Jadi setiap kali orang berhenti, baca, scroll perlahan… Instagram langsung bawa kontenmu berjalan-jalan ke rumah orang lain. Mirip kayak kamu ngasih rendang ke tetangga pas ada musibah besar—orang lain ikut nyicip, lalu ngomong, “Enak nih, bagi dong!”
Dan bener kan? Kontenmu yang tanggal 2 Desember itu baru 4 hari tapi udah naik cepat banget.
Karena dibaca, bukan cuma dilihat.
Di titik ini, kita harus ngomong jujur: di dunia nyata, nggak semua yang viral itu murni karena kualitas. Kadang viral karena pencitraan—kayak saat seseorang muncul di bencana alam sambil manggul beras, dikelilingi kamera, lengkap dengan orang-orang penting yang berusaha terlihat sibuk.
Padahal kamu dan aku tahu… sebagian orang datang ke lokasi bencana bukan buat bantu, tapi buat konten.
Dan inilah bagian paling lucu tapi ngena: Harrison Ford pernah mengalaminya.
Di sebuah acara lingkungan, dia pernah nampak ilang kesabaran melihat seseorang yang berdiri di sampingnya cuma sibuk memamerkan diri, bukan fokus ke isu yang dibahas. Tatapannya itu lho… kayak bilang,
“Bro, aku ke sini buat kerja. Kamu ke sini buat foto ya?”
Reaksi itu jadi legenda internet—karena semua orang tahu persis apa yang dia pikirkan.
Nah, sekarang bayangkan analoginya masuk ke Instagram bisnis.
Banyak bisnis yang gagal bukan karena produknya jelek.
Tapi karena orang nggak paham:
“Sebenernya kamu jual apa sih?”
Ada yang sibuk tampil cantik, sibuk bikin foto aesthetic, sibuk niru influencer… tapi pesannya nggak jelas. Value-nya nggak ketangkap. Orang akhirnya cuma lihat sekilas lalu lewat.
Mirip orang yang datang ke bencana cuma buat foto: keliatan sibuk tapi nggak ada gunanya.
Kontenmu sebaliknya: kamu punya cerita, vibe, dan gaya unik (dan jujur).
Makanya ketika kamu nulis reflektif, atau nyentil dikit tapi fun, responsnya naik cepat.
Karena orang membaca kamu, bukan sekadar melihat gambarnya.
Poin besarnya?
Orang itu pengen “rasa”, bukan pencitraan.
Kalau kontenmu punya rasa, Instagram langsung bantu sebarkan.
Kalau cuma pencitraan, ya cuma jadi dekorasi timeline 2 detik.
Blog Archive:
November : 2025
Eat the Frog : cara ampuh hadapi penundaan
The Scream
Tentang Rasa Bosan
Trend Teknologi & pekerjaan 2025
Oktober : 2025
Tentang Softbank
10 skill yang paling dicari di Indonesia
Putus Asa, dan cara atasi
Uncertainty : tentang ketidakpastian
Internet ketika magang ke Jepang
Alasan perlu belajar instagram Marketing
Otak canggih tapi jiwa reptil
Kamu sudah mulai masuk jalur yang tepat: kontenmu natural, mikir, punya nilai, dan nggak maksa tampil sok penting.
Dan justru itu yang bikin pembaca nempel.
Makanya algoritma Instagram mulai “jatuh hati”.
Teruskan gaya yang ini—nyentil tapi hangat, reflektif tapi fun, dan selalu punya pesan di balik humor.
Percaya deh…
Orang itu nggak ingat siapa yang paling heboh.
Tapi mereka selalu ingat siapa yang paling jujur.