Sefruit Interpretasi the Scream dan jalan hidup Edvard Much
Sefruit Interpretasi the Scream dan jalan hidup Edvard Much
“Aku nggak tahu pasti makna lukisan ini, tapi begini yang aku rasakan saat menatapnya.” yap kali ini hanya sebuah hal yang aku pikirkan ketika aku melihat lukisan Edvard Much Ini. Aku bukan orang yang fanatik akan kesusastraan tapi setidaknya aku cuma kagum gaya lukisan tersebut. aku juga terinspirasi dari seorang influencer weknowlah (Nola) yang menginterpretasikan tulisan atau menuangkan lukisan kedalam tulisan.
Mungkin tak ada yang menggambarkan absurditas itu sejujur The Scream karya Edvard Munch.
Seorang manusia berdiri di jembatan, mulutnya terbuka seolah berteriak, tapi dunia di sekitarnya tetap diam. Langit bergelora seperti amarah, sementara wajahnya luluh seperti lilin yang mencair oleh rasa takut sendiri.
Anehnya, tak ada ancaman nyata di depan dia—tidak ada api, tidak ada musuh—hanya kesunyian yang menjerit lebih keras dari suaranya sendiri.
Bukankah itu juga kita, ketika menyadari dunia tak selalu memberi makna, tapi kita masih mencoba bertahan, menatap langit yang sama, berharap ada sesuatu di balik warna jingga yang berputar-putar?
Suasana yang dirasakan Much kala itu, ....
Munch (1892)
“Aku berjalan menyusuri jalan bersama dua temanku. Matahari terbenam. Langit tiba-tiba menjadi merah darah. Aku berhenti, merasa lelah, dan bersandar pada pagar.
Di atas fjord biru kehitaman dan kota yang kekuningan, aku melihat langit yang seperti darah dan lidah api.
Teman-temanku berjalan terus, dan aku berdiri di sana, gemetar karena cemas—dan aku merasakan teriakan besar menembus alam semesta.”
Biografi singkat Much
Munch lahir di Norwegia, 1863. waktu dia masih kecil, ibunya meninggal karena TBC.
beberapa tahun kemudian, kakak perempuannya — yang paling dekat dengannya — juga meninggal karena penyakit yang sama.
ayahnya seorang dokter, tapi juga sangat religius dan keras. sering menakut-nakuti anak-anaknya dengan cerita tentang dosa dan neraka.
Munch pernah menulis,
“Ketakutan akan neraka menempel padaku seperti embun pagi.”
jadi sejak kecil, rumahnya selalu diwarnai dua hal: sakit dan takut.
bisa dibilang: kematian adalah suara latar hidupnya.
Munch mulai melukis bukan karena ingin jadi pelukis hebat, tapi karena ingin memahami kesedihan yang terus mengikutinya.
lukisannya bukan soal keindahan, tapi soal rasa — depresi, cemas, kehilangan, sepi.
makanya dia pernah bilang:
“Aku tidak ingin melukis manusia yang cantik, tapi jiwa yang telanjang.”
Tahun 1892, di Oslo (waktu itu masih Kristiania), Munch berjalan sore hari di tepi fjord — teluk Norwegia — bersama dua temannya.
matahari terbenam, tapi langit berubah aneh, merah seperti darah.
ia mendadak cemas luar biasa, napasnya sesak, dunia terasa goyah.
itulah momen ia tulis di jurnalnya — yang nanti jadi dasar The Scream:
“Langit menjadi merah darah... aku merasakan teriakan besar menembus alam semesta.”
momen itu bukan cuma “panik”, tapi seperti serangan eksistensial.
seolah-olah seluruh penderitaan dunia, kematian, dan ketakutan yang selama ini dia pendam meledak jadi satu suara — teriakan.
setahun kemudian, ia tuangkan momen itu di kanvas.
sosok di tengah itu bukan orang lain — itu dirinya sendiri, tapi dalam bentuk batin.
wajah tanpa gender, seperti topeng, mulut terbuka tapi tidak bersuara.
dan anehnya: yang berteriak bukan manusia itu, tapi langitnya.
gelombang-gelombang warna di latar bukan langit yang indah — itu “getaran suara”, jeritan semesta yang ia rasakan hari itu.
jadi kalau dilihat baik-baik:
dua orang di belakang tetap berjalan tenang (teman-temannya yang tidak sadar apa-apa),
sementara dirinya seperti tertelan oleh suara alam yang menjerit.
Sumber:
Munch sendiri: „In a January 22 1892 diary entry … ‘I was walking along the road with two friends, when the sun set; suddenly the sky turned as red as blood. I stopped, leaned against the fence, trembling with fear … Then I heard the enormous, infinite scream of nature.’“ Smarthistory+1
Artikel ilmiah: “Edvard Munch and The Scream: A Cry for Help” oleh G.E. Friedlaender, yang men‐bahas bagaimana Munch menggambarkan kecemasan eksistensial melalui karya itu. PMC
Penjelasan teknik dan latar lukisan: “The Sky in Edvard Munch’s The Scream” yang menjelaskan inspirasi langit merah dan konteks sosiokultural. American Meteorological Society Journals
Dibelahan bumi lain ada sosok makhluk yang menulis tentang absurdnya hidup, bahkan dia juga menyadari dirinya juga absurd>>>
"Hidup ini absurd, tapi dengan memahami keabsurdan itu, kita justru bisa lebih manusia.
Barangkali itu sebabnya dunia terasa aneh—kita semua sedang berusaha terlihat waras di tengah kekacauan yang sebetulnya sudah jadi bagian dari ritme hidup itu sendiri.
Seperti kata Albert Camus, hidup bukan soal mencari makna besar, tapi menerima bahwa dunia memang tak selalu masuk akal… lalu tetap berjalan, tersenyum, bahkan mungkin menulis tentangnya.
Mungkin karena itu juga, kebosanan, keresahan, atau kegetiran yang kita rasakan sehari-hari bukanlah musuh, tapi pintu kecil menuju kesadaran baru: bahwa menjadi manusia, memang tak harus selalu punya jawaban" Iwan Ketus