Di tengah arus kehidupan yang cepat berubah, banyak dari kita dihadapkan pada ketidakpastian: masa depan yang samar, rencana yang gagal, kondisi ekonomi yang fluktuatif, dan keputusan sulit yang harus diambil tanpa kepastian hasil. Dalam konteks ini, pertanyaannya adalah: bagaimana kita harus bersikap?
Melalui kajian filsafat, Dr. Fahrudin Faiz, dosen dan intelektual Muslim Indonesia, menawarkan sudut pandang reflektif tentang cara menyikapi hidup yang penuh ketidakpastian. Beliau menggabungkan pendekatan filsafat Timur, Stoikisme, dan nilai-nilai Islam dalam kerangka berpikir yang meneduhkan jiwa.
1. Ketidakpastian adalah Bagian dari Realitas
Pertama-tama, penting untuk menyadari bahwa ketidakpastian bukanlah gangguan, melainkan bagian dari kodrat kehidupan manusia. Tidak semua hal bisa kita kontrol atau prediksi. Dalam pandangan Dr. Faiz, menyadari dan menerima kenyataan ini adalah langkah awal untuk berdamai dengan hidup.
Alih-alih terus menginginkan hidup yang sepenuhnya pasti, kita bisa mulai belajar untuk melatih jiwa agar siap menghadapi segala kemungkinan baik ataupun buruk.
2. Kurangi Ekspektasi, Perkuat Keikhlasan
Salah satu sumber utama penderitaan adalah ekspektasi yang berlebihan. Kita sering berharap segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Namun ketika kenyataan tidak sejalan, kekecewaan pun datang. Menurut Dr. Faiz, mengurangi ekspektasi bukan berarti pesimis, melainkan membangun sikap mental yang lebih realis dan ikhlas terhadap hasil.
Dalam filsafat Islam, ini sejalan dengan konsep ridha: menerima takdir Allah dengan lapang dada setelah melakukan ikhtiar terbaik.
3. Fokus pada Hal yang Bisa Dikendalikan
Dr. Faiz kerap menekankan pentingnya membedakan antara hal yang bisa dikendalikan dan yang tidak. Prinsip ini juga dijelaskan dalam ajaran Stoikisme.
“Kita tidak bisa mengontrol angin, tapi kita bisa mengatur layar,” begitu ungkapan yang menggambarkan sikap bijak dalam menghadapi perubahan.
Alih-alih terjebak dalam kecemasan terhadap hal-hal di luar kendali (seperti masa depan atau opini orang lain), kita bisa memusatkan energi pada sikap, respon, dan tindakan kita sendiri.
4. Latih Ketahanan Batin (Resiliensi)
Ketidakpastian hidup menuntut kita untuk memiliki resiliensi, yakni kemampuan untuk bertahan dan bangkit dalam situasi sulit. Dr. Faiz sering menyampaikan bahwa ujian hidup bukanlah hukuman, tetapi sarana untuk membentuk karakter dan memperkuat jiwa. jika tidak memiliki ketahanan, banyak orang cendrung menjadi putus asa.
Melalui ujian, seseorang bisa tumbuh menjadi lebih sabar, lebih bijak, dan lebih siap menjalani hidup. Ini sejalan dengan pepatah: “Hidup bukan tentang menunggu badai reda, tapi belajar menari di tengah hujan.”