Kenapa Kita Suka Bosan, dan Bisakah Kita Menikmatinya Secara Sadar?
Kenapa Kita Suka Bosan, dan Bisakah Kita Menikmatinya Secara Sadar?
Mengapa Kita Bisa Bosan dengan Aktivitas Harian?<
Kebosanan adalah salah satu pengalaman manusia yang paling umum, namun paling jarang dipahami. Kita bisa merasa bosan bahkan ketika sedang melakukan sesuatu yang dulu kita cintai — bermain game favorit, menulis, menonton film, atau bahkan menjalani hobi yang biasanya membuat kita bersemangat. Banyak orang menganggap bosan sebagai tanda “malas”, padahal secara ilmiah dan filosofis, kebosanan jauh lebih kompleks.
Dalam artikel ini, kita akan membahas mengapa kebosanan muncul, apa yang terjadi dalam otak kita, bagaimana filsuf dan psikolog besar memaknai rasa bosan, dan apakah kebosanan sebenarnya bisa “dinikmati” secara sadar.
Otak manusia bekerja dengan sistem dopamin — zat kimia yang memberi rasa senang, reward, dan antusiasme. Ketika kita melakukan sesuatu yang sama berulang kali, kadar dopamin menurun karena otak sudah bisa memprediksi hasilnya.
Akibatnya, aktivitas yang dulu menyenangkan perlahan kehilangan daya pikatnya.
Ini sama seperti makan makanan favorit setiap hari. Awalnya enak, tetapi setelah tiga hari berturut-turut, rasanya mulai datar. Otak kita butuh kejutan, variasi, atau tantangan baru untuk kembali merasakan energi yang sama.
Bosan juga muncul ketika makna dalam suatu aktivitas berubah.
Contohnya:
Dulu main game = hiburan → sekarang jadi kewajiban pengisi waktu.
Dulu menulis = pelarian → sekarang jadi tuntutan produktivitas.
Otak manusia tidak suka kewajiban yang terasa kosong. Sebaliknya, ia menyukai aktivitas yang memiliki arti personal — sesuatu yang terasa penting, relevan, atau menantang.
Ketika makna hilang, kebosanan muncul sebagai sinyal:
“Ada sesuatu yang tidak lagi selaras dalam dirimu.”
Filsuf Jean-Paul Sartre menyebut pengalaman ini sebagai "mual eksistensial", yaitu ketika rutinitas harian terasa tidak berarti lagi. Setiap hari terlihat seperti pengulangan tak berujung: bangun, makan, bekerja, hiburan, tidur… ulang lagi.
Saat kita tidak lagi tahu mengapa kita melakukan sesuatu, bahkan aktivitas yang kita cintai pun terasa hampa.
Apakah kucing pernah bosan?
Blog Archive:
Desember : 2025
November : 2025
Eat the Frog : cara ampuh hadapi penundaan
The Scream
Tentang Rasa Bosan
Trend Teknologi & pekerjaan 2025
Oktober : 2025
Tentang Softbank
10 skill yang paling dicari di Indonesia
Putus Asa, dan cara atasi
Uncertainty : tentang ketidakpastian
Internet ketika magang ke Jepang
Alasan perlu belajar instagram Marketing
Ternyata bisa — dan inilah bagian yang jarang dibahas. Banyak penelitian dan pemikiran filosofis menunjukkan bahwa kebosanan bukan sekadar kekosongan, tetapi sebuah “ruang jeda” psikologis yang penting.
Mari lihat bagaimana para pemikir besar memaknainya.
Psikolog Sandi Mann menemukan bahwa kebosanan mampu mengaktifkan default mode network — mode di mana otak mulai mengembara, berkhayal, dan memunculkan ide baru.
Dalam penelitiannya tahun 2014, orang yang dibuat bosan (misalnya hanya menyalin nomor telepon) justru menghasilkan ide kreatif yang lebih banyak setelahnya.
Artinya:
kebosanan adalah tempat imajinasi tumbuh ketika kita berhenti mencari distraksi.
Dalam bukunya In Praise of Idleness (1932), Russell menulis:
“Generasi yang tak sanggup menanggung kebosanan akan menjadi generasi manusia kecil.”
Tidak semua ruang kosong harus diisi.
Menurut Russell, kebosanan adalah kondisi yang perlu untuk menumbuhkan:
daya renung,
ketenangan batin,
dan pemikiran yang lebih dalam.
Justru ketika kita terburu-buru menghilangkan bosan dengan scroll media sosial atau hiburan instan, kita kehilangan kesempatan untuk melihat isi pikiran kita sendiri.
Heidegger membedakan dua jenis kebosanan:
Kebosanan dangkal: menunggu bus, tidak ada hiburan.
Kebosanan mendalam: perasaan kosong dan kehilangan arah.
Yang kedua inilah yang dianggap penting. Heidegger menulis:
“Dalam kebosanan yang mendalam, seluruh eksistensi tampak tanpa makna — dan di sanalah keaslian diri mulai muncul.”
Dengan kata lain, rasa bosan membuka kesempatan bagi kita untuk melihat hidup dengan jujur: apa yang penting, apa yang kosong, dan ke mana kita ingin melangkah.
Psikolog John Eastwood menjelaskan bosan sebagai kondisi ketika keinginan untuk terlibat tidak selaras dengan kemampuan kita menemukan makna dalam situasi saat ini.
Solusinya bukan kabur dari kebosanan, tetapi:
“Re-engage with the world — temukan kembali makna dalam hal-hal kecil.”
Perhatikan suara kipas, aroma kopi, cahaya yang masuk dari jendela — apa pun yang menghubungkan kita kembali dengan pengalaman hidup.
“A life deprived of meaning is not dramatically tragic, it simply dissolves into boredom — a slow, invisible death.”
— Albert Camus (parafrase dari tema absurdismenya)
➤ Bagi Camus, bosan adalah semacam kematian perlahan, di mana manusia berhenti bergulat dengan absurditas dan menyerah pada rutinitas tanpa makna.
Ada momen-momen ketika kebosanan muncul begitu saja: pagi terasa panjang, kopi terasa hambar, dan dunia seakan berhenti bergerak. Umumnya manusia akan segera mencari pelarian — scroll ponsel, menonton video, atau membuka game lama. Namun pelarian itu hanya menunda rasa bosan, bukan mengubahnya.
Jika mengikuti cara berpikir Russell, kebosanan bukan tanda kurangnya kegiatan, tetapi tanda bahwa pikiran sedang “lapar ruang.” Maka yang ia lakukan bukanlah mengusir bosan, tetapi menyambutnya sebagai jeda alami dalam hidup.
Duduk diam beberapa menit tanpa melakukan apa pun sering kali terasa menyiksa. Tapi setelah lapisan gelisah itu lewat, muncul perasaan tenang yang halus — semacam keheningan yang tidak lagi kosong.
Di titik itulah, kebosanan berubah menjadi cermin. Pikiran yang tercecer mulai berkumpul kembali, ide-ide muncul tanpa dipaksa, dan kita mulai melihat apa yang selama ini tertutup oleh kesibukan.
Bosan, jika dinikmati, menjadi seperti duduk di tepi danau. Air tampak diam, tapi di bawahnya ada kehidupan kecil yang bergerak. Kita hanya bisa melihatnya jika permukaannya tidak terus diaduk.
Pada akhirnya, kebosanan bukanlah musuh, melainkan undangan untuk berhenti sejenak. Ia mengajak kita menatap ke dalam, menemukan kedalaman baru, dan menyadari bahwa ketenangan sering muncul bukan saat kita mengejarnya — tetapi saat kita berhenti berlari.
Kebosanan bukan hanya kekosongan, tetapi sinyal biologis, psikologis, dan eksistensial bahwa kita membutuhkan makna baru. Dari perspektif ilmiah maupun filosofis, bosan bisa dinikmati ketika kita berhenti melarikan diri darinya dan mulai membiarkan diri hadir dalam keheningan.
Kebosanan memberi ruang bagi kreativitas, refleksi, dan pertumbuhan diri. Ketika kita belajar tinggal di dalamnya, kita menemukan bahwa yang kosong ternyata tidak sepenuhnya kosong — ia justru penuh kemungkinan.
“To be bored is to have begun to feel the weight of time — and time, after all, is death’s shadow.”
— Bertrand Russell (inspired tone)
➤ Russell melihat kebosanan sebagai kesadaran akan waktu yang berjalan sia-sia. Ketika kita merasa bosan, sebenarnya kita sedang menatap bayangan kematian yang halus — kesadaran bahwa waktu terus berlalu tanpa makna.
"Rasa bosan itu seperti sebuah saklar sunyi yang diam-diam menghidupkan ide">>>