Saya bukan ilmuwan otak, bukan pula psikolog atau sosiolog. Saya hanya penulis yang mencoba memahami manusia dari jarak dekat — dari cara kita berbicara, bereaksi, mencari alasan, dan saling menyalahkan. Saya tertarik dengan satu pertanyaan sederhana tapi pelik: mengapa bangsa dengan potensi besar seperti Indonesia belum juga mampu menaklukkan dirinya sendiri?
Kita punya teknologi, pendidikan makin maju, kreativitas tak terbantahkan. Tapi di tengah semua itu, masih begitu banyak perilaku yang terasa... purba. Korupsi, tipu-menipu, keserakahan — semua berlangsung begitu alami seolah-olah itu bagian dari sistem pernapasan sosial kita. Seolah ada sesuatu di dalam otak bangsa ini yang belum selesai berevolusi dan di sanalah saya mulai tertarik membaca tentang reptilian brain — bagian otak tertua yang kita warisi dari masa jutaan tahun lalu. Pusat dari naluri bertahan hidup, dominasi, dan kesenangan instan. Setiap manusia punya bagian itu, tapi tidak semua berhasil menaklukkannya.
Secara biologis, otak orang Indonesia tidak berbeda dari otak orang Jepang, Jerman, atau Swiss. Tidak ada gen moral, tidak ada gen disiplin. Yang membedakan kita adalah bagaimana otak itu dilatih setiap hari oleh lingkungannya. Neurosaintis seperti Colin DeYoung dan Lisa Feldman Barrett menjelaskan bahwa struktur otak dibentuk oleh pengalaman yang berulang. Apa pun yang sering kita lakukan, itulah yang memperkuat jalur saraf kita. Dengan kata lain, karakter bukan takdir — ia adalah kebiasaan yang dikeraskan oleh waktu.
Maka, ketika kita melihat orang Jepang membuang sampah dengan teratur, menepati waktu, atau menunduk saat meminta maaf, itu bukan karena mereka lebih “baik” dari kita, melainkan karena mereka hidup di sistem yang terus melatih pengendalian diri. Mereka punya lingkungan yang memberi penghargaan pada keteraturan, bukan kelicikan. Mereka dilatih sejak kecil bahwa malu lebih menyakitkan daripada hukuman, dan bahwa menipu orang lain berarti menipu diri sendiri. Sebaliknya, di Indonesia, kita tumbuh dalam sistem yang lentur. Aturan sering kali bisa dinegosiasikan. Ketepatan waktu tergantung siapa yang ditunggu. Kejujuran adalah ideal, tapi kelicikan sering lebih dihargai. Kita terbiasa dengan kalimat, “yang penting hasilnya,” bukan “bagaimana caranya.”
Dan di situlah otak reptil kita diberi makan setiap hari — lewat jalan pintas, pembenaran, dan rasa aman palsu.
Saat seseorang berhasil melanggar aturan tanpa dihukum, sistem dopamin di otaknya memberi sinyal kemenangan: “Lihat, ini cara yang lebih mudah untuk bertahan.” Otak mencatat itu, mengulangnya, lalu membangun kebiasaan baru. Dari situ lahirlah budaya yang terbiasa menipu, bukan karena jahat, tapi karena sistem mengajarkan bahwa tipu-menipu adalah cara yang rasional untuk hidup. Kita sering menyalahkan individu: pejabat yang korup, pengusaha culas, atau masyarakat yang malas antre. Tapi semua itu hanyalah gejala. Masalah sesungguhnya ada pada ekosistem yang melatih bagian otak paling primitif kita untuk terus berkuasa.
Otak reptil tidak mengenal moral. Ia hanya tahu dua hal: bertahan dan menang, dari sinilah muncul rasa takut kehilangan, dorongan untuk menimbun, untuk mencuri kesempatan sebelum orang lain. Jika tidak dikendalikan oleh bagian otak yang lebih tinggi — prefrontal cortex, pusat refleksi dan empati — maka manusia yang modern bisa berperilaku seperti makhluk purba dengan jas formal.
Itulah mengapa saya sering berkata, korupsi bukan sekadar kejahatan finansial; itu adalah ekspresi biologis dari otak yang belum selesai berevolusi sosial. Keserakahan pun begitu — ia bukan hanya moral flaw, tapi kegagalan sistem saraf untuk merasakan cukup. Dalam otak yang dikuasai dopamin, kesenangan tidak pernah stabil. Begitu mendapat sesuatu, muncul dorongan untuk lebih, dan lebih lagi. Hingga akhirnya, kita menumpuk banyak hal tanpa benar-benar tahu untuk apa. Masalahnya, budaya kita tidak hanya menoleransi keserakahan — ia merayakannya.
Kita memuja kekayaan tanpa bertanya tentang prosesnya. Kita menghormati yang berkuasa meski tahu mereka berbohong. Kita mengidolakan gaya hidup yang mengilap, bukan integritas yang tenang.
Padahal, dalam kerangka neurosains, perilaku yang mendapat penghargaan sosial akan semakin menguat. Maka, ketika kita memberikan kekaguman pada orang yang licik tapi sukses, kita sedang memperkuat pola saraf bangsa yang salah. Kita sedang mengajari generasi berikutnya bahwa cara curang pun bisa jadi bagian dari “evolusi bertahan hidup.” Saya pribadi paling sulit memaafkan keserakahan. Ia berbeda dari ambisi. Ambisi lahir dari rasa ingin berkembang; keserakahan lahir dari rasa takut dan kekosongan batin. Orang ambisius ingin mencapai sesuatu, tapi orang serakah ingin memiliki segalanya — bahkan yang bukan haknya. Dalam dunia sosial, keserakahan adalah bentuk paling halus dari kekerasan: ia menindas dengan cara mengambil lebih dari yang dibutuhkan.
Baca juga : tentang rasa bosan!
Dan ironisnya, keserakahan di negeri ini sering disamarkan sebagai “rezeki,” “kerja keras,” atau “berkat.” Kita lupa bahwa dalam setiap kelebihan yang tidak dibagi, ada kekurangan yang dialami orang lain. Apakah kita bisa berubah? Bisa — karena otak punya kemampuan neuroplastisitas: ia bisa belajar, beradaptasi, bahkan menulis ulang kebiasaan lamanya. Tapi perubahan itu tidak datang dari pidato moral atau spanduk motivasi. Ia datang dari sistem yang konsisten: dari lingkungan yang memberi penghargaan pada kejujuran, bukan kelicikan; dari hukum yang tidak pandang bulu; dari pendidikan yang mengajarkan empati, bukan hanya hafalan.
Perubahan bangsa tidak pernah terjadi lewat revolusi besar. Ia dimulai dari hal kecil yang diulang dari seseorang yang menolak menipu saat punya kesempatan. Dari pegawai yang menolak suap kecil. Dari warga yang memilih antre, bukan menyerobot. Dari guru yang memberi contoh, bukan ceramah. Setiap kali kita melakukan hal benar meski tak ada yang melihat, kita sedang melatih otak bangsa ini untuk berevolusi, dan setiap kali kita memilih jalan mudah dengan mengorbankan orang lain, kita sedang menarik bangsa ini mundur ke masa reptil — masa ketika naluri mengalahkan kesadaran. Kita tak perlu menjadi seperti Jepang, karena jalan kita berbeda. Tapi kita bisa belajar satu hal dari mereka: bahwa kedisiplinan dan integritas bukan bawaan lahir, melainkan hasil latihan sosial yang panjang. Mungkin benar, kita bangsa dengan otak canggih tapi jiwa reptil. Tapi berita baiknya, evolusi belum berhenti. Kita masih bisa belajar, masih bisa tumbuh, masih bisa memilih untuk menjadi manusia sepenuhnya.
Penutup
Saya tidak tahu apakah tulisan ini bisa mengubah siapa pun. Tapi jika ada satu hal yang saya yakini, itu adalah bahwa bangsa yang berani mengakui sisi gelapnya masih punya harapan untuk sembuh. Evolusi sejati bukan soal menjadi lebih kuat, tapi lebih sadar — sadar kapan kita bertindak seperti manusia, dan kapan kita kembali jadi reptil. Dan mungkin, ketika suatu hari nanti kita berhenti merasa bangga karena “berhasil menipu tanpa ketahuan,” saat itulah kita benar-benar telah berevolusi — bukan sekadar secara biologis, tapi secara moral.
Beli baju kaos Anime Keren, aftertwentynine
Blog Archive:
November : 2025
Eat the Frog : cara ampuh hadapi penundaan
The Scream
Tentang Rasa Bosan
Trend Teknologi & pekerjaan 2025
Oktober : 2025
Tentang Softbank
10 skill yang paling dicari di Indonesia
Putus Asa, dan cara atasi
Uncertainty : tentang ketidakpastian
Internet ketika magang ke Jepang
Alasan perlu belajar instagram Marketing
Otak canggih tapi jiwa reptil
Jika suka dengan konten saya, dukung terus. kalau ada narasi lain, kami siap menerima tulisan kamu!